Minggu, 24 Januari 2010
Provinsi Gorontalo
Provinsi Gorontalo adalah salah satu dari 32 provinsi di wilayah Republik Indonesia yang memanjang dari Timur ke Barat di Bagian Utara Pulau Sulawesi. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara, Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
Provinsi termuda ini memiliki luas wilayah 12.215,44 km2 dan berada pada posisi geografis antara 00030’04” – 01002’30” Lintang Utara dan 112008’04”– 123032’09” Bujur Timur.
Provinsi terbungsu ini mempunyai ketinggian dari permukaan laut antara 0 – 2.400 meter dengan jumlah pulau-pulau kecil yang teridentifikasi sampai saat ini sebanyak 67 buah serta mempunyai 2 (dua) musim iklim pada umunya, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Biasanya hari hujan terbanyak terjadi pada Bulan Maret, Mei dan Oktober dengan Curah Hujan rata-rata 207,7 mm dan suhu rata-rata 23 – 31° C. Sedangkan tekanan udaranya berkisar antara 11.21.5 MOB dengan kecepatan angin rata-rata 1,9 knot.
Provinsi Gorontalo juga mempunyai garis pantai sepanjang + 590 km dengan luas laut teritorial + 10.500 km2 dan luas perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) + 40.000 km2 yang ada di perairan sebelah Utara, sehingga total luas perairan laut + 50.500 km2 dengan tingkat kemiringan yang relatif rendah antara 0 – 40°.
Wilayah Gorontalo juga sangat strategis bila dipandang secara ekonomis, karena berada pada poros tengah wilayah pertumbuhan ekonomi, yaitu antara 2 (dua) Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui Provinsi Sulawesi Tengah dan Manado – Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Letaknya yang strategis ini dapat dijadikan sebagai daerah transit seluruh komoditi dari dan menuju kedua KAPET tersebut. Akibat kegiatan arus barang antara kedua KAPET tadi, maka berdampak positif terhadap peningkatan aktivitas ekonomi di Daerah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan bahkan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Selain itu, Gorontalo juga berada pada “mulut” Lautan Pasifik yang menghadap pada negara Korea, Jepang dan Amerika Latin. Sudah barang tentu “kelebihan posisi” ini dapat memberikan peluang yang baik dalam pengembangan perdagangan.
Catatan :
Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 di Indonesia. Sebelumnya, Gorontalo merupakan wilayah kabupaten di Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah, provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tertanggal 22 Desember 2000.
Provinsi Gorontalo terletak di pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi ini 12.215 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 887.000 jiwa (2004).
Bahasa daerah
Sebenarnya ada banyak bahasa daerah di Gorontalo. Namun hanya tiga bahasa yaitu: bahasa Gorontalo, bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola. Dalam proses lahirnya bahasa yang ada khusus untuk bahasa daerah adalah bahasa Gorontalo. Saat ini bahasa Gorontalo telah dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, sehingga kemurnian bahasa agak sulit diperoleh di Gorontalo.
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Boalemo/ Marisa/Tilamuta
2 Kabupaten Bone Bolango/ Suwawa
3 Kabupaten Gorontalo/ Gorontalo
4 Kabupaten Gorontalo Utara/ Kwandang
5 Kabupaten Pohuwato/ Marisa
6 Kota Gorontalo
Sumber :
http://www.gorontaloprov.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=823&Itemid=51
http://www.id.indonesia.nl/content/view/200/89/
Sumber Gambar:
http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/provinsi-gorontalo.html
http://www.gorontalo.netfirms.com/provgorontalo3.jpg
Wisata Bahari Pulau Saronde Gorontalo
Pulau Saronde adalah pulau kecil yang indah, dengan pantainya yang berpasir putih dan karang yang tertata rapi secara alami. Banyak orang yang belum mengetahui akan keberadaan pulau saronde yang merupakan salah satu permata wisata Provinsi Gorontalo, khususnya Kabupaten Gorontalo Utara. Luas pulau ini hanya sekitar kurang lebih 1 km keliling dengan pesisir pantai yang mengelilingi pulau dan mempunyai ciri khas tersendiri. Dari bagian utara hingga ke barat sepanjang pantainya berpasir putih, dan dari selatan hingga ke timur sepanjang pantainya di penuhi bebatuan yang tertata rapi bagai ditata oleh tangan manusia serta dikelilingi oleh taman laut yang memiliki keindahan terumbu karang. Pulau Saronde terletak di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, sekitar 65 km dari pusat kota gorontalo dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Untuk menempuh perjalanan dari pusat kota gorontalo hingga ke dermaga kwandang sebaiknya menggunakan kenderaan pribadi. Bagi pengunjung yang memilih naik angkot, naiklah angkot dengan rute kwandang dan biaya angkot per orang hanya Rp. 15.000.
Pulau Saronde merupakan gugusan dari pulau Ponelo (Desa Ponelo) Kecamatan Kwandang yang berjarak sekitar 12 mil dari dermaga pelabuhan Kwandang. Dan merupakan sebuah gugusan pulau kecil yang banyak. Jarak tempuh dari dermaga ke pulau saronde sekitar 60 menit. Dengan menggunakan jasa angkutan penduduk setempat yang sering disebut katinting. Di dermaga kwandang telah tersedia Taxi Wisata Pulau Saronde, denga tarif per orang Rp. 10.000 menuju pulau saronde.
TAXI WISATA PULAU SARONDETaxi Wisata Pulau Saronde
Di Wisata Bahari Pulau Saronde, para pengunjung atau wisatawan dapat menikmati pemandangan alam dan laut yang indah dengan pasir putih, berenang, berperahu, snorkeling dan menyelam. Keindahan lainnya yang dapat Anda nikmati di Pulau Saronde adalah menikmati panorama sunrise dan sunset. Anda bisa menikmati keindahan pantai dengan bermain volly pantai, sepakbola pantai, snorkling, pinswim dan kegiatan outbound lainnya. Pulau Saronde di promosikan sebagai salah satu potensi wisata Kabupaten Gorontalo Utara. Perairan di sekitar pulau ini masih bersih dan tidak tercemari oleh sampah – sampah industri. Waktu terbaik mengunjungi Pulau Saronde adalah pada saat liburan dan ada event – event, baik berskala daerah maupun berskala nasional.
Walaupun Pulau Saronde saat ini belumlah maksimal dengan aset pendukung dan sarana prasarana lainnya, terutama penginapan dan pemenuhan kebutuhan air bersih, pulau ini pernah mengalami zaman keemasan era 90-an, masa pemerintahan Bupati Gorontalo, Marthen Liputo. Pada waktu itu, pulau saronde terdapat banyak cottage tempat menginap para wisatawan. Sekarang cottage – cottage tersebut di renovasi dan hanya menyisakan dua buah cottage. Sarana pendukung lainnya, di pulau ini terdapat sebuah panggung untuk pagelaran seni budaya dan kegiatan lainnya. Sekarang pembenahan di segala bidang, baik aset pendukung wisata maupun sarana angkutan atau taxi wisata pulau saronde telah di akomodir oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo Utara, dalam rangka mendukung program pemerintahan provinsi gorontalo di bidang pariwisata.
COTTAGE DI PULAU SARONDE
Di Pulau Saronde Wisatawan dapat mencari berbagai souvenir atau cendera mata yang terbuat dari biya serta menu – menu khas gorontalo. Keunikan cendera mata ini, terbuat dari keong – keong laut yang telah di poles oleh penduduk setempat dan dijadikan hiasan dinding dengan berbagai macam model dan ukuran. Harganya pun bervariasi, mulai dari 50 ribuan hingga ratusan ribu. Wisatawan pun dapat memanfaatkan tenda untuk berkemah jika ingin bermalam di pulau ini dan bila ingin menginap dengan fasilitas yang lebih memadai lagi, Wisatawan dapat mencarinya di seputaran Kota Kwandang, Ibukota Kabupaten Gorontalo Utara.
Sumber :
http://www.wahana-budaya-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1044%3Awisata-bahari-pulau-saronde-gorontalo&catid=219%3Atujuan-wisata&Itemid=62&lang=id
Sumber :
http://matanews.com/wp-content/uploads/pulsaronde-1.jpg
Potensi Wisata Gorontalo
1. Benteng Otanaha
Objek wisata ini terletak di atas bukit di Kelurahan Dembe, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Benteng ini dibangun sekitartahun 1522.
Adapun sejarah pembangunan benteng ini adalah sebagai berikut.
Sekitar abad ke-15,dugaan orang bahwa sebagian besar daratan Gorontalo adalah air laut. Ketika itu,Kerajaan Gorontalo di bawah Pemerintahan Raja Ilato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505–1585). Mereka memilik tiga keturunan, yakni Ndoba (wanita),Tiliaya (wanita),dan Naha (pria).Waktu usia remaja,Naha melanglang buana ke negeri seberang,sedangkan Ndoba dan Tiliaya tinggal di wilayah kerajaan.
2. Pantai Indah Lahilote
Pantai Indah Lahilote merupakan objek wisata pantai yang terletak di Pantai Lahilote Kelurahan Pohe, Kecamatan Kota Selatan, kurang lebih 6 km dari pusat Kota Gorontalo. Di pantai ini terdapat sebuah batu berbentuk tapak kaki, yakni dimitoskan sebagai tapak kaki seorang pengembara muda Gorontalo yang bernama Lahilote. Kata ini berasal dari kata botu yang bererarti batu, liyodu berarti tapak kaki. Jadi, botu liyodu adalah batu berbentuk tapak kaki. Konon menurut mitos Gorontalo karena kasmaran terhadap seorang bidadari yang turun dari kayangan yang bernama Boyilode Hulawa, Lahilote nekad dan berhasil mencuri sayap yang berbentuk selendang dari sang putri. Mereka sempat menikah.
3. Makam Keramat “Ju Panggola”
Makam Keramat Ju Panggola terletak di Kecamatan Kota Barat, di Kelurahan Lekobalo, kurang lebih 7 km dari Pusat Kota Gorontalo. Makam keramat ini terletak di atas bukit pada ketinggian 50 meter dari jalan raya. Dari atas bukit ini kita dapat melihat Danau Limboto yang luas, dengan airnya yang makin kritis, dari kedalaman 32 meter kini tinggal 5 hingga 7 meter. Ju Panggola adalah sebuah gelar atau julukan. Ju berarti ‘ya’, sedangkan Panggola berati ‘tua’. Jadi, Ju Panggola artinya Ya Pak Tua. Dalam sejarah nama Pak Tua tersebut adalah Ilato, yang artinya kilat. Karena kesaktian dan sifat keramatnya Ilato, mempunyai kemampuan untuk menghilang dan muncul jika negeri dalam keadaan gawat.
4. Danau Limboto
Di Danau Limboto yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, yang saat ini memiliki kedalaman antara 5 hingga 8 meter, para pengujung atau wisatawan dapat menikmati berbagai kegiatan, antara lain, memancing, lomba berperahu, atau berenang. Selain itu, mereka juga dapat menikmati ikan bakar segar yang disediakan oleh mayarakat nelayan setempat dengan harga yang relatif murah.
5. Pulau Saronde
Objek wisata ini terletak di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo, dan dapat dicapai dengan perahu dari Kwandang.
6. Pemandian Air Hangat Lombongo
Objek wisata Pemandian Air Panas Lombongo terletak di Desa Duwano, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Gorontalo, kurang lebih 17 km dari Kota Gorontalo (ibu kota provinsi). Di lokasi ini para pengunjung dapat menikmati perbagai atraksi kesenian yang sering dilaksanakan di tempat ini. Di samping itu, mereka dapat menikmati hangat air di tempat pemandian (kolam renang) Lombongo yang juga sangat bermanfat untuk menyembuhkan penyakit kulit.
7. Pemandian Air Hangat Pentadio
Di Desa Pentadio, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo juga terdapat objek wisata berupa tempat permandian air hangat. Di lokasi tersebut para pengunjung dapat menyaksikan semburan mata air yang cukup panas sehingga dapat digunakan untuk merebus telur hingga matang. Mereka dapat menikmati siraman air dari sumber mata air yang cukup hangat yang sangat bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit kulit.
8. Benteng Oranye
Objek wisata Benteng Oranye (Orange Fortress) merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang terdapat di Kecamatan Kwandang, kurang lebih 61 km dari Kota Gorontalo. Benteng ini dibangun oleh bangsa Portugis pada abad ke-17. Benteng ini berukuran panjang 40 meter, lebar 32 meter, dan tinggi 5 meter (40x32x5 meter).
Objek Wisata Lain
Di samping yang telah disebutkan di atas, Provinsi Gorontalo memiliki beberapa objek wisata yang lain yang cukup menarik dan perlu dikembangkan, antara lain, Goa Ular di Kecamatan Batudaa (kira-kira 28 km dari Kota Gorontalo), Danau Perintis di Kecamatan Suwawa (18 km dari Kota Gorontalo), Taman Laut Pulau Limba di Kecamatan Paguyaman, Pulau Bitila di Kecamatan Paguat, Pantai Pasir Putih di Kecamatan Tilamuta, Air Terjun di Kecamatan Tilamuta, Cagar Alam Panua di Kelurahan Libuo, Kota Gorontalo, dan Pulau Asiangi di Kecamatan Tilamuta.
- Pesona Keindahan Pantai Boalemo
- Taman Nasional Dumoga Bone
- Geliat 'Sunset' Pantai Leato Gorontalo
Gemulung ombak bergerak perlahan menghempas tepian pantai. Sejauh mata memandang terhampar samudra dengan keelokan alamnya. Di ufuk barat mentari mulai memasuki batas cakrawala. Langit dan air laut memantulkan warna kemerah-merahan. Begitulah pesona sunset di Pantai Leato.
Suasana menakjubkan di kala senja itu sangat menggugah hati manusia akan kebesaran Sang Pencipta. Apabila seorang fotograper mampu mengabadikan momen itu dengan baik, tentu foto yang dihasilkan akan dikagumi orang.
PENASARAN....??? DATANG DAN NIKMATI PEMANDANGAN ALAM DI PROVINSI GORONTALO
Sumber :
http://hubpar.gorontaloprov.go.id/index.php/Potensi-Wisata.html
Gorontalo di Awal Abad 20 (Dalam Catatan Kolonial Belanda)
“Islam di Gorontalo tidak dijalankan dengan fanatisme,” demikian antara lain kesan Kalff, asisten residen Belanda di Gorontalo tahun 1915. Di masa itu, sudah cukup beragam suku yang ada di Gorontalo dan masing-masing memiliki sifat. Soal komposisi penduduk di luar pribumi, Kalff antara lain mencatat: sejumlah 448 penduduk Arab, 25 orang berdarah India dan China.
Membaca 13 laporan para pembesar kolonial Belanda di Gorontalo pada awal abad 20 setidaknya bisa memberi gambaran awal tentang daerah ini. Laporan yang sempat saya baca rata-rata berjumlah antara 15, 25, 44 dan 115 halaman. Keseluruhannya sekitar 475 halaman. Laporan tertua dibuat oleh W. Verbeek (1911?) dan yang terbaru oleh B. Korn (1939). Semuanya terdapat dalam satu bundel, namanya “bundel Timur Besar” (termasuk Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi). Adalah Tom Hoegervorst, sahabat saya yang kini studi PhD di Oxford, yang sangat membantu saya dalam membaca naskah-naskah Gorontalo tersebut. Selama sehari penuh (7 Oktober 2009) kami menjejali ratusan halaman laporan-laporan itu di perpustakaan Royal Tropical Institute di Amsterdam.
Cukup tampak bahwa laporan aparat kolonial berbeda-beda kualitas dan keluasan informasinya. Meskipun semuanya memiliki standar cakupan laporan yang sama, yaitu: keadaan geografis, kondisi kampung dan penduduk, kesehatan, keadaan alam dan pembesar Gorontalo, dst. Dan sudah tentu keadaan Gorontalo sendiri selalu berbeda untuk setiap periode penugasan aparat kolonial di Gorontalo. Karena ini adalah laporan kolonial, sudah tentu itu sangat berhubungan dengan kepentingan mereka. Dan satu hal yang penting pada masa itu, saya kira, adalah akurasi data lokasi dan perkembangan penduduknya. Selain hal-hal utama yang (memang) tengah dieksploitasi kolonial secara sepihak.
Tulisan ini sekadar memuat beberapa hal yang dirasa menarik informasinya. Sejak awal harus saya akui bahwa catatan ini akan terasa agak acak karena memang tidak sedang direkonstruksi oleh seorang spesialis sejarah, tapi lebih sebagai peminat dokumentasi. Demikianlah ringkasannya:
Controleur F.B. Dutrieux (1930) berhasil mendaftarkan jenis-jenis kayu yang ada di Gorontalo, selain keadaan sosial yang lain, misalnya masih adanya praktik-praktik “animisme” di daerah ini. Dan yang agak aneh, dalam pengamatan Dutrieux, pada masa itu “sholat cenderung dilakukan beberapa orang saja, termasuk Jumatan dan bahkan puasa hanya diikuti oleh kepala-kepala distrik…”
Sejak 1930an, kesehatan dan pendidikan, keadaan jalan, pertambangan menjadi perhatian serius. Dan di masa itu pula gelar-gelar kepala distrik diperluas pengaturannya.
Di tahun 1933, seorang pejabat kolonial bernama A.O. Frohwein melaporkan kelas-kelas sosial yang ada di Gorontalo, termasuk adanya usaha membelah otoritas tradisional (raja) dalam dua pola, yaitu: raja kompeni dan raja negeri. Yang unik dalam catatan Frohwein adalah soal pasar di Gorontalo. Dia mencatat ada sejumlah 17 pasar di wilayah Gorontalo, antara lain pasar di Kotta, pasar di Telaga (Bulila) dan di Dehualolo. Di daerah Kampung Jawa di Tibawa dikenal dengan nama “pasar Ahad”. Frohwein juga mengakui proses pemungutan pajak di kalangan orang-orang Eropa, China, Arab dan Pribumi.
Organisasi Muhammadiyah dan PSII tampaknya sudah sangat aktif di Gorontao pada tahun 1930an, sebagaimana dicatat oleh Frohwein. Dalam sebuah acara tabligh Muhammadiyah misalnya, “Muhammadiyah memintakan Polisi untuk tidak perlu hadir…”Untuk PSII, ketika itu dicatat nama “Joesof Sama” (mungkin sebagai pemimpinnya? ).
Asisten residen bernama B.Korn (1939) adalah pejabat yang memiliki laporan yang cukup panjang tentang Gorontalo (115 halaman). Kondisi jembatan, perkembangan tanaman, jumlah binatang ternak, perikanan dan kehutanan, hutan bakau, konservasi, jenis kayu, peta etnis dan orang Bajo, percapuran penduduk, keberadaan “orang Jaton” yang tinggal di wilayah tersendiri, kepolisian, produksi kopra, kapuk dan rotan adalah bagian-bagian kecil yang ada dalam laporan Korn.
Korn lebih lanjut juga menuliskan laporan-laporan lisan dari pembesar-pembesar Gorontalo mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah ini, termasuk soal gelar adat dan struktur kekuasaan yang ada (raja, jogugu, marsaoleh, walaapulu dan kimalaha); dan yang menarik adalah soal Bandar Gorontalo sebelum tahun 1856 (ada petanya), termasuk tentang Suwawa yang sebelumnya dikenal dengan nama “Bone”. Satu hal yang unik dilaporkan Korn bahwa di beberapa lokasi di Gorontalo “pemilihan kepala desa hanya boleh dilakukan oleh mereka yang membayar pajak”.
Pada tahun 1939, Korn mencatat ada sekitar 61 Sekolah Rakyat, dengan jumlah murid 9.660 orang. Sekolah Muhammadiyah juga ikut didatakan, termasuk organisasi-organisa si politik yang ada ketika itu. Agak lucu karena dalam laporan ini, cukup banyak koreksian di pinggir kertas laporan dengan tulisan tangan Korn sendiri (?). Sepertinya Korn adalah orang yang sangat teliti menulis dan membaca.
Riwayat lama bahwa raja di Gorontalo dipilih oleh dewan rakyat (Baate) tampaknya sangat benar adanya. Moorison (1931) menuliskan pengakuan itu. Di bagian lain, pembangunan jalan ke Kwandang, penempatan gudang-gudang di sekitar pantai di pelabuhan, pemanfaatan jalur sungai serta eksploitasi posisi pantai untuk kepentingan ekonomi kolonial tampaknya digerakkan pada masa Moorison (1931).
Rupanya Gorontalo mengalami sebuah perkembangan menarik di awal 1930an. Sejak itu, seperti dicatat Moorison (1931), di Gorontalo “rumah batu” mulai bermunculan dari orang-orang kaya dan kebanyakan. Pada masa itu pula peran taudaa sangat besar, apalagi karena tidak ada dewan kampung.
Secara sosial, Moorison mencatat, bahwa “orang Gorontalo jarang benci orang dan jarang suka berkelahi, juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian itu karena saguer..” (hal.27). Di masa Moorison terlampir sebuh foto pembesar-pembesar Gorontalo (para kepala distrik dan bate). Dia juga merujuk konsep lama soal linula-kaum dan kampung. Lebih jauh, dia bahkan mengutipkan warisan lama tentang bagaimana Raja Ejato di abad 17 disumpah secara adat untuk “tidak menyalahgunakan semua hal yang bisa dikatakan milik tuanku…”.
Lagi-lagi, ada hal unik yang dilaporkan oleh controleur Moorison ini, bahwa teryata di Gorontalo dikenal adanya praktik “sedekah kepada orang besar…”
Keberadaan kerajaan Bone turut disebutkan Moorison, bahwa Kerajaan Bone dihuni oleh orang Suwawa dan Gowa yang menguasai kerajaan Bone dan merebutnya dari penguasaan Bintauna. Dan faktor “pernikahan” menyebabkan semua raja menjadi satu keluarga besar, meskipun Bone mendominasi kerajaan ini.
Ketika Perang Jawa terjadi, ada orang Gorontalo yang membantu pemerintah kolonial Belanda.
Di awal 1930an, Moorison sudah mencatat ada dua kampung Jawa di Gorontalo, yaitu: Reksonegoro dan Yosonegoro.
Di masa itu pula, terjadi migrasi orang-orang Gorontalo yang bekerja ke Tomini tapi kemudian setiap saat pulang ke Gorontalo lagi.
Praktik keagamaan cukup semarak, terutama di musim puasa, meskipun setiap ada perhimpunan/ organisasi yang muncul di Gorontalo, itu relatif gagal berkembang. Moorison juga melaporkan, di awal 1930an di Gorontalo sudah ada orang China naik haji, dan ada dua orang Eropa yang naik haji, yaitu: Von Grajek dan T.W. Schuman.
Dalam kelembagaan Islam, di Gorontalo ada satu orang Kadhi dan 4 orang imam di setiap distrik. Ini cukup untuk semua kerajaan. Tapi sejak 1860, raja di Gorontalo tidak pernah diganti lagi, dan marsaoleh yang kemudian menggantikan peranan raja dan kemudian dia memiliki bata-bate sendiri.
Soal bahasa, Moorison mengakui bahwa bahasa Gorontalo adalah bahasa yang susah dan mirip dengan bahasa di Filipina.
Keadaan lain yang dilaporkan Moorison adalah rata-rata orang Gorontalo mengetahui silat dan setiap orang punya pisau belati. Meski demikian, tak pernah ada perang besar di daerah ini. Ada bagian yang agak khusus karena Moorison melaporkan bahwa perang antara Limboto dan Gorontalo yang pernah ada itu hanyalah sebagai “kekacauan kecil” saja. Dan pada abad 17 perang itu diakhiri karena sadar akan manfaat persahabatan, sebagaimana buktinya “2 cincin emas” dikaitkan dan dibuang di titik terdalam di danau Limboto supaya cincin itu bersatu selamanya… ” (hal. 45).
Foto-foto irigasi, produksi pertanian, perikanan dan peternakan turut dicantumkan dalam laporan Moorison (1931) ini. Dikatakan pula bahwa jalan raya sudah bisa dilewati truk pada 1931. Pada masa itu dia melihat makin banyaknya “rumah batu” di wilayah Gorontalo, dan hal itu, menurut dia, sebagai tanda kemajuan. Tapi ada hal negatif yang kemudian berkembang, yaitu banyaknya “pribumi yang berutang kepada orang China…”.
Dalam kehidupan sosial, Moorison melaporkan bahwa pelanggaran hukum adat kurang sekali di Gorontalo. Yang terjadi hanya ada “satu kali kasus perzinahan selama enam tahun” di Gorontalo. Pelanggaran adat lainnya, “pernah terjadi di mana salah seorang pembesar salah duduk di kursi, pada hal dia harus duduk di lantai karena ketika itu ada orang mati…”.
Moorison merujuk data lama, ketika dia menulis laporan sejarah tentang pemahaman lama bahwa kolonial Belanda mengira bahwa sejak 1669 Gorontalo berada di bawah kekuasaan Ternate, ternyata hal itu tidak benar. Meskipun memang proses monopoli VOC di wilayah ini sempat menggunakan budak-budak dari Gorontalo. Kontak yang lebih nyata terjadi pada 19 Maret 1746 ketika Jogugu Gorontalo membantu pembangunan “benteng” di wilayah Gorontalo, kemudian 16 November 1757 terjadi kontak dengan Gubernur Maluku dengan raja Gorontalo bernama Mohammad Alimuddin Iskandar Monoarfa. Pada masa ini tampaknya kontak-kontak ekonomi kolonial mulai intensif ke wilayah Gorontalo.
Kembali ke awal abad 20, Morks (1931), melaporkan kenyataan yang baru di mana “…rata-rata pejabat yang kerja di wilayah Boalemo mereka maunya cepat pulang ke Gorontalo secepatnya.. .: Di wilayah ini juga ada Orang Bajo yang memiliki bahasa dan pola rumah sendiri, serta tradisi yang khas mereka.
Tema lain yang dilaporkan, ternyata ada “tradisi sembah” di Gorontalo, seperti umumnya pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi yang khas di Gorontalo adalah adanya semacam “komisi yang terdiri dari beberapa etnis”. Ini sangat baik karena bisa mengurusi suku-suku bangsa untuk pemerintahan lokal.
Morks kembali menuliskan kegairahan prosesi idul fitri di Gorontalo. Di halaman lain, dia mengutipkan bahasa lokal untuk menyebut telur burung Maleo, yaitu “tambo-o”
Kondisi Gorontalo sepertinya selalu dilaporkan damai selama awal abad 20. Produksi yang sangat dominan adalah kopra dan rotan. Di daerah ini harga “padi” tergolong mahal. Masyarakat pun sejak awal sangat membenci babi, karena itu binatang ini dimatikan antara lain dengan cara memberi racun dengan mendatangkannya dari Kediri. Sementara orang Eropa, China dan Minahasa senang berburu. Yang agak aneh, pada tahun 1920, seorang controleur bernama J.J.F. Pino, melaporkan bahwa “orang Gorontalo punya kebiasaan tidak membayar utang…” (hal. 6).
Demikianlah, catatan singkat saya atas laporan-laporan kolonial tersebut. Di masa mendatang, dibutuhkan sebuah pembacaan yang lebih rinci dan pendalaman yang lebih terancang karena akan sangat membantu menelusuri perkembangan Gorontalo.
Maaf atas kekurangannya. Akan terus dilanjutkan pada kesempatan lain. Semoga ada sedikit manfaat.
Terima kasih.
Wassalam,
Basri Amin
Warga Hepuhulawa Limboto
Sumber :
http://gorontalomaju.com/budaya/gorontalo-di-awal-abad-20-dalam-catatan-kolonial-belanda.cfm
Membaca 13 laporan para pembesar kolonial Belanda di Gorontalo pada awal abad 20 setidaknya bisa memberi gambaran awal tentang daerah ini. Laporan yang sempat saya baca rata-rata berjumlah antara 15, 25, 44 dan 115 halaman. Keseluruhannya sekitar 475 halaman. Laporan tertua dibuat oleh W. Verbeek (1911?) dan yang terbaru oleh B. Korn (1939). Semuanya terdapat dalam satu bundel, namanya “bundel Timur Besar” (termasuk Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi). Adalah Tom Hoegervorst, sahabat saya yang kini studi PhD di Oxford, yang sangat membantu saya dalam membaca naskah-naskah Gorontalo tersebut. Selama sehari penuh (7 Oktober 2009) kami menjejali ratusan halaman laporan-laporan itu di perpustakaan Royal Tropical Institute di Amsterdam.
Cukup tampak bahwa laporan aparat kolonial berbeda-beda kualitas dan keluasan informasinya. Meskipun semuanya memiliki standar cakupan laporan yang sama, yaitu: keadaan geografis, kondisi kampung dan penduduk, kesehatan, keadaan alam dan pembesar Gorontalo, dst. Dan sudah tentu keadaan Gorontalo sendiri selalu berbeda untuk setiap periode penugasan aparat kolonial di Gorontalo. Karena ini adalah laporan kolonial, sudah tentu itu sangat berhubungan dengan kepentingan mereka. Dan satu hal yang penting pada masa itu, saya kira, adalah akurasi data lokasi dan perkembangan penduduknya. Selain hal-hal utama yang (memang) tengah dieksploitasi kolonial secara sepihak.
Tulisan ini sekadar memuat beberapa hal yang dirasa menarik informasinya. Sejak awal harus saya akui bahwa catatan ini akan terasa agak acak karena memang tidak sedang direkonstruksi oleh seorang spesialis sejarah, tapi lebih sebagai peminat dokumentasi. Demikianlah ringkasannya:
Controleur F.B. Dutrieux (1930) berhasil mendaftarkan jenis-jenis kayu yang ada di Gorontalo, selain keadaan sosial yang lain, misalnya masih adanya praktik-praktik “animisme” di daerah ini. Dan yang agak aneh, dalam pengamatan Dutrieux, pada masa itu “sholat cenderung dilakukan beberapa orang saja, termasuk Jumatan dan bahkan puasa hanya diikuti oleh kepala-kepala distrik…”
Sejak 1930an, kesehatan dan pendidikan, keadaan jalan, pertambangan menjadi perhatian serius. Dan di masa itu pula gelar-gelar kepala distrik diperluas pengaturannya.
Di tahun 1933, seorang pejabat kolonial bernama A.O. Frohwein melaporkan kelas-kelas sosial yang ada di Gorontalo, termasuk adanya usaha membelah otoritas tradisional (raja) dalam dua pola, yaitu: raja kompeni dan raja negeri. Yang unik dalam catatan Frohwein adalah soal pasar di Gorontalo. Dia mencatat ada sejumlah 17 pasar di wilayah Gorontalo, antara lain pasar di Kotta, pasar di Telaga (Bulila) dan di Dehualolo. Di daerah Kampung Jawa di Tibawa dikenal dengan nama “pasar Ahad”. Frohwein juga mengakui proses pemungutan pajak di kalangan orang-orang Eropa, China, Arab dan Pribumi.
Organisasi Muhammadiyah dan PSII tampaknya sudah sangat aktif di Gorontao pada tahun 1930an, sebagaimana dicatat oleh Frohwein. Dalam sebuah acara tabligh Muhammadiyah misalnya, “Muhammadiyah memintakan Polisi untuk tidak perlu hadir…”Untuk PSII, ketika itu dicatat nama “Joesof Sama” (mungkin sebagai pemimpinnya? ).
Asisten residen bernama B.Korn (1939) adalah pejabat yang memiliki laporan yang cukup panjang tentang Gorontalo (115 halaman). Kondisi jembatan, perkembangan tanaman, jumlah binatang ternak, perikanan dan kehutanan, hutan bakau, konservasi, jenis kayu, peta etnis dan orang Bajo, percapuran penduduk, keberadaan “orang Jaton” yang tinggal di wilayah tersendiri, kepolisian, produksi kopra, kapuk dan rotan adalah bagian-bagian kecil yang ada dalam laporan Korn.
Korn lebih lanjut juga menuliskan laporan-laporan lisan dari pembesar-pembesar Gorontalo mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah ini, termasuk soal gelar adat dan struktur kekuasaan yang ada (raja, jogugu, marsaoleh, walaapulu dan kimalaha); dan yang menarik adalah soal Bandar Gorontalo sebelum tahun 1856 (ada petanya), termasuk tentang Suwawa yang sebelumnya dikenal dengan nama “Bone”. Satu hal yang unik dilaporkan Korn bahwa di beberapa lokasi di Gorontalo “pemilihan kepala desa hanya boleh dilakukan oleh mereka yang membayar pajak”.
Pada tahun 1939, Korn mencatat ada sekitar 61 Sekolah Rakyat, dengan jumlah murid 9.660 orang. Sekolah Muhammadiyah juga ikut didatakan, termasuk organisasi-organisa si politik yang ada ketika itu. Agak lucu karena dalam laporan ini, cukup banyak koreksian di pinggir kertas laporan dengan tulisan tangan Korn sendiri (?). Sepertinya Korn adalah orang yang sangat teliti menulis dan membaca.
Riwayat lama bahwa raja di Gorontalo dipilih oleh dewan rakyat (Baate) tampaknya sangat benar adanya. Moorison (1931) menuliskan pengakuan itu. Di bagian lain, pembangunan jalan ke Kwandang, penempatan gudang-gudang di sekitar pantai di pelabuhan, pemanfaatan jalur sungai serta eksploitasi posisi pantai untuk kepentingan ekonomi kolonial tampaknya digerakkan pada masa Moorison (1931).
Rupanya Gorontalo mengalami sebuah perkembangan menarik di awal 1930an. Sejak itu, seperti dicatat Moorison (1931), di Gorontalo “rumah batu” mulai bermunculan dari orang-orang kaya dan kebanyakan. Pada masa itu pula peran taudaa sangat besar, apalagi karena tidak ada dewan kampung.
Secara sosial, Moorison mencatat, bahwa “orang Gorontalo jarang benci orang dan jarang suka berkelahi, juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian itu karena saguer..” (hal.27). Di masa Moorison terlampir sebuh foto pembesar-pembesar Gorontalo (para kepala distrik dan bate). Dia juga merujuk konsep lama soal linula-kaum dan kampung. Lebih jauh, dia bahkan mengutipkan warisan lama tentang bagaimana Raja Ejato di abad 17 disumpah secara adat untuk “tidak menyalahgunakan semua hal yang bisa dikatakan milik tuanku…”.
Lagi-lagi, ada hal unik yang dilaporkan oleh controleur Moorison ini, bahwa teryata di Gorontalo dikenal adanya praktik “sedekah kepada orang besar…”
Keberadaan kerajaan Bone turut disebutkan Moorison, bahwa Kerajaan Bone dihuni oleh orang Suwawa dan Gowa yang menguasai kerajaan Bone dan merebutnya dari penguasaan Bintauna. Dan faktor “pernikahan” menyebabkan semua raja menjadi satu keluarga besar, meskipun Bone mendominasi kerajaan ini.
Ketika Perang Jawa terjadi, ada orang Gorontalo yang membantu pemerintah kolonial Belanda.
Di awal 1930an, Moorison sudah mencatat ada dua kampung Jawa di Gorontalo, yaitu: Reksonegoro dan Yosonegoro.
Di masa itu pula, terjadi migrasi orang-orang Gorontalo yang bekerja ke Tomini tapi kemudian setiap saat pulang ke Gorontalo lagi.
Praktik keagamaan cukup semarak, terutama di musim puasa, meskipun setiap ada perhimpunan/ organisasi yang muncul di Gorontalo, itu relatif gagal berkembang. Moorison juga melaporkan, di awal 1930an di Gorontalo sudah ada orang China naik haji, dan ada dua orang Eropa yang naik haji, yaitu: Von Grajek dan T.W. Schuman.
Dalam kelembagaan Islam, di Gorontalo ada satu orang Kadhi dan 4 orang imam di setiap distrik. Ini cukup untuk semua kerajaan. Tapi sejak 1860, raja di Gorontalo tidak pernah diganti lagi, dan marsaoleh yang kemudian menggantikan peranan raja dan kemudian dia memiliki bata-bate sendiri.
Soal bahasa, Moorison mengakui bahwa bahasa Gorontalo adalah bahasa yang susah dan mirip dengan bahasa di Filipina.
Keadaan lain yang dilaporkan Moorison adalah rata-rata orang Gorontalo mengetahui silat dan setiap orang punya pisau belati. Meski demikian, tak pernah ada perang besar di daerah ini. Ada bagian yang agak khusus karena Moorison melaporkan bahwa perang antara Limboto dan Gorontalo yang pernah ada itu hanyalah sebagai “kekacauan kecil” saja. Dan pada abad 17 perang itu diakhiri karena sadar akan manfaat persahabatan, sebagaimana buktinya “2 cincin emas” dikaitkan dan dibuang di titik terdalam di danau Limboto supaya cincin itu bersatu selamanya… ” (hal. 45).
Foto-foto irigasi, produksi pertanian, perikanan dan peternakan turut dicantumkan dalam laporan Moorison (1931) ini. Dikatakan pula bahwa jalan raya sudah bisa dilewati truk pada 1931. Pada masa itu dia melihat makin banyaknya “rumah batu” di wilayah Gorontalo, dan hal itu, menurut dia, sebagai tanda kemajuan. Tapi ada hal negatif yang kemudian berkembang, yaitu banyaknya “pribumi yang berutang kepada orang China…”.
Dalam kehidupan sosial, Moorison melaporkan bahwa pelanggaran hukum adat kurang sekali di Gorontalo. Yang terjadi hanya ada “satu kali kasus perzinahan selama enam tahun” di Gorontalo. Pelanggaran adat lainnya, “pernah terjadi di mana salah seorang pembesar salah duduk di kursi, pada hal dia harus duduk di lantai karena ketika itu ada orang mati…”.
Moorison merujuk data lama, ketika dia menulis laporan sejarah tentang pemahaman lama bahwa kolonial Belanda mengira bahwa sejak 1669 Gorontalo berada di bawah kekuasaan Ternate, ternyata hal itu tidak benar. Meskipun memang proses monopoli VOC di wilayah ini sempat menggunakan budak-budak dari Gorontalo. Kontak yang lebih nyata terjadi pada 19 Maret 1746 ketika Jogugu Gorontalo membantu pembangunan “benteng” di wilayah Gorontalo, kemudian 16 November 1757 terjadi kontak dengan Gubernur Maluku dengan raja Gorontalo bernama Mohammad Alimuddin Iskandar Monoarfa. Pada masa ini tampaknya kontak-kontak ekonomi kolonial mulai intensif ke wilayah Gorontalo.
Kembali ke awal abad 20, Morks (1931), melaporkan kenyataan yang baru di mana “…rata-rata pejabat yang kerja di wilayah Boalemo mereka maunya cepat pulang ke Gorontalo secepatnya.. .: Di wilayah ini juga ada Orang Bajo yang memiliki bahasa dan pola rumah sendiri, serta tradisi yang khas mereka.
Tema lain yang dilaporkan, ternyata ada “tradisi sembah” di Gorontalo, seperti umumnya pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi yang khas di Gorontalo adalah adanya semacam “komisi yang terdiri dari beberapa etnis”. Ini sangat baik karena bisa mengurusi suku-suku bangsa untuk pemerintahan lokal.
Morks kembali menuliskan kegairahan prosesi idul fitri di Gorontalo. Di halaman lain, dia mengutipkan bahasa lokal untuk menyebut telur burung Maleo, yaitu “tambo-o”
Kondisi Gorontalo sepertinya selalu dilaporkan damai selama awal abad 20. Produksi yang sangat dominan adalah kopra dan rotan. Di daerah ini harga “padi” tergolong mahal. Masyarakat pun sejak awal sangat membenci babi, karena itu binatang ini dimatikan antara lain dengan cara memberi racun dengan mendatangkannya dari Kediri. Sementara orang Eropa, China dan Minahasa senang berburu. Yang agak aneh, pada tahun 1920, seorang controleur bernama J.J.F. Pino, melaporkan bahwa “orang Gorontalo punya kebiasaan tidak membayar utang…” (hal. 6).
Demikianlah, catatan singkat saya atas laporan-laporan kolonial tersebut. Di masa mendatang, dibutuhkan sebuah pembacaan yang lebih rinci dan pendalaman yang lebih terancang karena akan sangat membantu menelusuri perkembangan Gorontalo.
Maaf atas kekurangannya. Akan terus dilanjutkan pada kesempatan lain. Semoga ada sedikit manfaat.
Terima kasih.
Wassalam,
Basri Amin
Warga Hepuhulawa Limboto
Sumber :
http://gorontalomaju.com/budaya/gorontalo-di-awal-abad-20-dalam-catatan-kolonial-belanda.cfm
Profil Kota Gorontalo
Kota Gorontalo merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah Kabupaten Gorontalo, secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 6 Kecamatan dan 46 Desa dengan luas keseluruhan wilayah 64,79 Km2. Secara geografis terletak di 00o28 17 -00o35 56 LU dan antara 122o69 44 - 123o05 59 BT.
Daerah ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango di sebelah utara, kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango di sebalah timur, Teluk Tomini di sebelah selatan, kecamatan Telaga dan Batudaa Kabupaten gorontalo disebelah barat. Kota Gorontalo sejak dulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan pelayanan jasa lainnya bagi Gorontalo dan sekitarnya, gorontolo merupakan kota tua di Sulawesi sama dengan Makasar.
Keunggulan posisinya sangat menguntungkan kota Gorontalo yakni di poros pertumbuhan ekonomi antara dua kawasan ekonomi terpadu Batui (Sulawesi Tengah) dan Manado-Bitung (Sulut). Letaknya yang strategis ini sebagai daerah transit seluruh komoditas dari dan kedua Kapet tersebut. Funsi dan peranan pelabuhan lautnya menjadi sangat vital dalam kerangka perdagangan di Teluk Tomini, sehingga kota gorontalo berperan sebagai pintu arus barang dan orang di kawasan barat Sulawesi utara, termasuk Teluk Tomini dan sekitarnya.
Komoditas yang banyak dikirim lewat Pelabuhan, baik untuk perdagangan regional maupun ekspor untuk mancanegara antara lain jagung, rotan, hasil laut dan damar. Komoditas itu berasal dari daerah penghasil beragam hasil hutan dan pertanian seperti Kabupaten Gorontalo dan kabupaten Boalemo. Ramainya kegiatan bongkar muat mengindikasikan betapa pelabuhan ini menjadi tulang punggung laulintas barang masuk dan keluar Gorontalo maupun antar Provinsi di Sulawesi. Tingginya mobilitas arus barang menjadikan sektor perdagangan mendominasi kegiatan ekonomi Gorontalo. Di Kota Gorontalo sendiri yang menjadi produk unggulan berupa rotan polis dan kursi rotan. Komoditas ini terutama di ekspor ke Amerika serikat, komoditas lainnya yaitu produk yang menadi nilai identitas daerah ini yakni sulaman Kerawang. Pemasaran hasil produk kerajinan sulaman telah memenuhi permintaan pasar lokal, regional bahkan sampai Pulau Jawa. Kota Gorontalo memang kurang memiliki sumber daya alam. Walau terletak di daerah pesisir, namun sektor perikana belum tergarap maksimal. Untuk terus memajukan perekonomiannnya, beberapa sarana dan prasrana pendukung perlu dibenahi terutama pelabuhan laut yang telah menjadi sarana vital kegiatan perekonomian kota bahkan Provinsi.
Sumber Data:
www.bps.go.id
(01-10-2007)
BPS Prov. Gorontalo
Jl. Taman Pendidikan
Catatan :
Kota Gorontalo terdiri dari enam kecamatan yaitu:
Kecamatan Kota Selatan
Kecamatan Kota Utara
Kecamatan Kota Barat
Kecamatan Kota Timur
Kecamatan Kota Tengah
Kecamatan Dungingi
Keenam kecamatan tersebut memiliki 46 kelurahan, 459 RW dan 1.302 RT. Penduduk Kota pada Tahun 2003 sebanyak 147.354 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk efektif 2.274 jiwa/km dan laju pertumbuhan 6,58% dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=7571
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Gorontalo
Sumber Gambar:
http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/kota-gorontalo.html
Langganan:
Postingan (Atom)