Minggu, 24 Januari 2010

Gorontalo di Awal Abad 20 (Dalam Catatan Kolonial Belanda)

“Islam di Gorontalo tidak dijalankan dengan fanatisme,” demikian antara lain kesan Kalff, asisten residen Belanda di Gorontalo tahun 1915. Di masa itu, sudah cukup beragam suku yang ada di Gorontalo dan masing-masing memiliki sifat. Soal komposisi penduduk di luar pribumi, Kalff antara lain mencatat: sejumlah 448 penduduk Arab, 25 orang berdarah India dan China.

Membaca 13 laporan para pembesar kolonial Belanda di Gorontalo pada awal abad 20 setidaknya bisa memberi gambaran awal tentang daerah ini. Laporan yang sempat saya baca rata-rata berjumlah antara 15, 25, 44 dan 115 halaman. Keseluruhannya sekitar 475 halaman. Laporan tertua dibuat oleh W. Verbeek (1911?) dan yang terbaru oleh B. Korn (1939). Semuanya terdapat dalam satu bundel, namanya “bundel Timur Besar” (termasuk Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi). Adalah Tom Hoegervorst, sahabat saya yang kini studi PhD di Oxford, yang sangat membantu saya dalam membaca naskah-naskah Gorontalo tersebut. Selama sehari penuh (7 Oktober 2009) kami menjejali ratusan halaman laporan-laporan itu di perpustakaan Royal Tropical Institute di Amsterdam.

Cukup tampak bahwa laporan aparat kolonial berbeda-beda kualitas dan keluasan informasinya. Meskipun semuanya memiliki standar cakupan laporan yang sama, yaitu: keadaan geografis, kondisi kampung dan penduduk, kesehatan, keadaan alam dan pembesar Gorontalo, dst. Dan sudah tentu keadaan Gorontalo sendiri selalu berbeda untuk setiap periode penugasan aparat kolonial di Gorontalo. Karena ini adalah laporan kolonial, sudah tentu itu sangat berhubungan dengan kepentingan mereka. Dan satu hal yang penting pada masa itu, saya kira, adalah akurasi data lokasi dan perkembangan penduduknya. Selain hal-hal utama yang (memang) tengah dieksploitasi kolonial secara sepihak.

Tulisan ini sekadar memuat beberapa hal yang dirasa menarik informasinya. Sejak awal harus saya akui bahwa catatan ini akan terasa agak acak karena memang tidak sedang direkonstruksi oleh seorang spesialis sejarah, tapi lebih sebagai peminat dokumentasi. Demikianlah ringkasannya:

Controleur F.B. Dutrieux (1930) berhasil mendaftarkan jenis-jenis kayu yang ada di Gorontalo, selain keadaan sosial yang lain, misalnya masih adanya praktik-praktik “animisme” di daerah ini. Dan yang agak aneh, dalam pengamatan Dutrieux, pada masa itu “sholat cenderung dilakukan beberapa orang saja, termasuk Jumatan dan bahkan puasa hanya diikuti oleh kepala-kepala distrik…”

Sejak 1930an, kesehatan dan pendidikan, keadaan jalan, pertambangan menjadi perhatian serius. Dan di masa itu pula gelar-gelar kepala distrik diperluas pengaturannya.

Di tahun 1933, seorang pejabat kolonial bernama A.O. Frohwein melaporkan kelas-kelas sosial yang ada di Gorontalo, termasuk adanya usaha membelah otoritas tradisional (raja) dalam dua pola, yaitu: raja kompeni dan raja negeri. Yang unik dalam catatan Frohwein adalah soal pasar di Gorontalo. Dia mencatat ada sejumlah 17 pasar di wilayah Gorontalo, antara lain pasar di Kotta, pasar di Telaga (Bulila) dan di Dehualolo. Di daerah Kampung Jawa di Tibawa dikenal dengan nama “pasar Ahad”. Frohwein juga mengakui proses pemungutan pajak di kalangan orang-orang Eropa, China, Arab dan Pribumi.

Organisasi Muhammadiyah dan PSII tampaknya sudah sangat aktif di Gorontao pada tahun 1930an, sebagaimana dicatat oleh Frohwein. Dalam sebuah acara tabligh Muhammadiyah misalnya, “Muhammadiyah memintakan Polisi untuk tidak perlu hadir…”Untuk PSII, ketika itu dicatat nama “Joesof Sama” (mungkin sebagai pemimpinnya? ).

Asisten residen bernama B.Korn (1939) adalah pejabat yang memiliki laporan yang cukup panjang tentang Gorontalo (115 halaman). Kondisi jembatan, perkembangan tanaman, jumlah binatang ternak, perikanan dan kehutanan, hutan bakau, konservasi, jenis kayu, peta etnis dan orang Bajo, percapuran penduduk, keberadaan “orang Jaton” yang tinggal di wilayah tersendiri, kepolisian, produksi kopra, kapuk dan rotan adalah bagian-bagian kecil yang ada dalam laporan Korn.

Korn lebih lanjut juga menuliskan laporan-laporan lisan dari pembesar-pembesar Gorontalo mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah ini, termasuk soal gelar adat dan struktur kekuasaan yang ada (raja, jogugu, marsaoleh, walaapulu dan kimalaha); dan yang menarik adalah soal Bandar Gorontalo sebelum tahun 1856 (ada petanya), termasuk tentang Suwawa yang sebelumnya dikenal dengan nama “Bone”. Satu hal yang unik dilaporkan Korn bahwa di beberapa lokasi di Gorontalo “pemilihan kepala desa hanya boleh dilakukan oleh mereka yang membayar pajak”.

Pada tahun 1939, Korn mencatat ada sekitar 61 Sekolah Rakyat, dengan jumlah murid 9.660 orang. Sekolah Muhammadiyah juga ikut didatakan, termasuk organisasi-organisa si politik yang ada ketika itu. Agak lucu karena dalam laporan ini, cukup banyak koreksian di pinggir kertas laporan dengan tulisan tangan Korn sendiri (?). Sepertinya Korn adalah orang yang sangat teliti menulis dan membaca.

Riwayat lama bahwa raja di Gorontalo dipilih oleh dewan rakyat (Baate) tampaknya sangat benar adanya. Moorison (1931) menuliskan pengakuan itu. Di bagian lain, pembangunan jalan ke Kwandang, penempatan gudang-gudang di sekitar pantai di pelabuhan, pemanfaatan jalur sungai serta eksploitasi posisi pantai untuk kepentingan ekonomi kolonial tampaknya digerakkan pada masa Moorison (1931).

Rupanya Gorontalo mengalami sebuah perkembangan menarik di awal 1930an. Sejak itu, seperti dicatat Moorison (1931), di Gorontalo “rumah batu” mulai bermunculan dari orang-orang kaya dan kebanyakan. Pada masa itu pula peran taudaa sangat besar, apalagi karena tidak ada dewan kampung.

Secara sosial, Moorison mencatat, bahwa “orang Gorontalo jarang benci orang dan jarang suka berkelahi, juga tak punya ciri-ciri negatif. Kalau ada perkelahian itu karena saguer..” (hal.27). Di masa Moorison terlampir sebuh foto pembesar-pembesar Gorontalo (para kepala distrik dan bate). Dia juga merujuk konsep lama soal linula-kaum dan kampung. Lebih jauh, dia bahkan mengutipkan warisan lama tentang bagaimana Raja Ejato di abad 17 disumpah secara adat untuk “tidak menyalahgunakan semua hal yang bisa dikatakan milik tuanku…”.

Lagi-lagi, ada hal unik yang dilaporkan oleh controleur Moorison ini, bahwa teryata di Gorontalo dikenal adanya praktik “sedekah kepada orang besar…”

Keberadaan kerajaan Bone turut disebutkan Moorison, bahwa Kerajaan Bone dihuni oleh orang Suwawa dan Gowa yang menguasai kerajaan Bone dan merebutnya dari penguasaan Bintauna. Dan faktor “pernikahan” menyebabkan semua raja menjadi satu keluarga besar, meskipun Bone mendominasi kerajaan ini.

Ketika Perang Jawa terjadi, ada orang Gorontalo yang membantu pemerintah kolonial Belanda.

Di awal 1930an, Moorison sudah mencatat ada dua kampung Jawa di Gorontalo, yaitu: Reksonegoro dan Yosonegoro.

Di masa itu pula, terjadi migrasi orang-orang Gorontalo yang bekerja ke Tomini tapi kemudian setiap saat pulang ke Gorontalo lagi.

Praktik keagamaan cukup semarak, terutama di musim puasa, meskipun setiap ada perhimpunan/ organisasi yang muncul di Gorontalo, itu relatif gagal berkembang. Moorison juga melaporkan, di awal 1930an di Gorontalo sudah ada orang China naik haji, dan ada dua orang Eropa yang naik haji, yaitu: Von Grajek dan T.W. Schuman.

Dalam kelembagaan Islam, di Gorontalo ada satu orang Kadhi dan 4 orang imam di setiap distrik. Ini cukup untuk semua kerajaan. Tapi sejak 1860, raja di Gorontalo tidak pernah diganti lagi, dan marsaoleh yang kemudian menggantikan peranan raja dan kemudian dia memiliki bata-bate sendiri.

Soal bahasa, Moorison mengakui bahwa bahasa Gorontalo adalah bahasa yang susah dan mirip dengan bahasa di Filipina.

Keadaan lain yang dilaporkan Moorison adalah rata-rata orang Gorontalo mengetahui silat dan setiap orang punya pisau belati. Meski demikian, tak pernah ada perang besar di daerah ini. Ada bagian yang agak khusus karena Moorison melaporkan bahwa perang antara Limboto dan Gorontalo yang pernah ada itu hanyalah sebagai “kekacauan kecil” saja. Dan pada abad 17 perang itu diakhiri karena sadar akan manfaat persahabatan, sebagaimana buktinya “2 cincin emas” dikaitkan dan dibuang di titik terdalam di danau Limboto supaya cincin itu bersatu selamanya… ” (hal. 45).

Foto-foto irigasi, produksi pertanian, perikanan dan peternakan turut dicantumkan dalam laporan Moorison (1931) ini. Dikatakan pula bahwa jalan raya sudah bisa dilewati truk pada 1931. Pada masa itu dia melihat makin banyaknya “rumah batu” di wilayah Gorontalo, dan hal itu, menurut dia, sebagai tanda kemajuan. Tapi ada hal negatif yang kemudian berkembang, yaitu banyaknya “pribumi yang berutang kepada orang China…”.

Dalam kehidupan sosial, Moorison melaporkan bahwa pelanggaran hukum adat kurang sekali di Gorontalo. Yang terjadi hanya ada “satu kali kasus perzinahan selama enam tahun” di Gorontalo. Pelanggaran adat lainnya, “pernah terjadi di mana salah seorang pembesar salah duduk di kursi, pada hal dia harus duduk di lantai karena ketika itu ada orang mati…”.

Moorison merujuk data lama, ketika dia menulis laporan sejarah tentang pemahaman lama bahwa kolonial Belanda mengira bahwa sejak 1669 Gorontalo berada di bawah kekuasaan Ternate, ternyata hal itu tidak benar. Meskipun memang proses monopoli VOC di wilayah ini sempat menggunakan budak-budak dari Gorontalo. Kontak yang lebih nyata terjadi pada 19 Maret 1746 ketika Jogugu Gorontalo membantu pembangunan “benteng” di wilayah Gorontalo, kemudian 16 November 1757 terjadi kontak dengan Gubernur Maluku dengan raja Gorontalo bernama Mohammad Alimuddin Iskandar Monoarfa. Pada masa ini tampaknya kontak-kontak ekonomi kolonial mulai intensif ke wilayah Gorontalo.

Kembali ke awal abad 20, Morks (1931), melaporkan kenyataan yang baru di mana “…rata-rata pejabat yang kerja di wilayah Boalemo mereka maunya cepat pulang ke Gorontalo secepatnya.. .: Di wilayah ini juga ada Orang Bajo yang memiliki bahasa dan pola rumah sendiri, serta tradisi yang khas mereka.

Tema lain yang dilaporkan, ternyata ada “tradisi sembah” di Gorontalo, seperti umumnya pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi yang khas di Gorontalo adalah adanya semacam “komisi yang terdiri dari beberapa etnis”. Ini sangat baik karena bisa mengurusi suku-suku bangsa untuk pemerintahan lokal.

Morks kembali menuliskan kegairahan prosesi idul fitri di Gorontalo. Di halaman lain, dia mengutipkan bahasa lokal untuk menyebut telur burung Maleo, yaitu “tambo-o”

Kondisi Gorontalo sepertinya selalu dilaporkan damai selama awal abad 20. Produksi yang sangat dominan adalah kopra dan rotan. Di daerah ini harga “padi” tergolong mahal. Masyarakat pun sejak awal sangat membenci babi, karena itu binatang ini dimatikan antara lain dengan cara memberi racun dengan mendatangkannya dari Kediri. Sementara orang Eropa, China dan Minahasa senang berburu. Yang agak aneh, pada tahun 1920, seorang controleur bernama J.J.F. Pino, melaporkan bahwa “orang Gorontalo punya kebiasaan tidak membayar utang…” (hal. 6).

Demikianlah, catatan singkat saya atas laporan-laporan kolonial tersebut. Di masa mendatang, dibutuhkan sebuah pembacaan yang lebih rinci dan pendalaman yang lebih terancang karena akan sangat membantu menelusuri perkembangan Gorontalo.

Maaf atas kekurangannya. Akan terus dilanjutkan pada kesempatan lain. Semoga ada sedikit manfaat.

Terima kasih.

Wassalam,

Basri Amin

Warga Hepuhulawa Limboto

Sumber :
http://gorontalomaju.com/budaya/gorontalo-di-awal-abad-20-dalam-catatan-kolonial-belanda.cfm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar